Prihatin sekaligus miris melihat iklim musik Indonesia saat ini yang sepertinya masih dalam proses menuju level titik terendahnya. Keadaan ini sebenarnya sudah terdeteksi sejak pertengahan tahun 2000'an dimana munculnya keseragaman diantara pelaku musik Indonesia, baik yang dalam format solo maupun band. Misalnya sulitnya membedakan antara musik dan penampilan Titi DJ, Rossa dan Krisdayanti. Sekarang? Beberapa tahun terakhir ini bahkan panggung musik Indonesia diserbu oleh segerombolan band-band yang justru mengusung musik dan penampilan yang sama yang membuat saya bahkan tidak bisa menyebut namanya satu persatu saking banyak dan seragamnya. Keadaan ini makin diperburuk dengan fenomena bahwa setiap mahluk bisa menjadi penyanyi, itu sebabnya Olga Syahputra, Nikita Willy atau Luna Maya yang bermodalkan popularitas dan suara pas-pasan dengan percaya diri tingkat tinggi merambah dunia musik. Tak terkecuali penyanyi-penyanyi yang kemudian besar karena drama infotainment seperti Syahrini dan Ayu Ting Ting. Atau penyanyi-penyanyi kagetan yang terlanjur ngetop lewat fasilitas Youtube seperti Shinta & Jojo dan Briptu Norman. Kemudian masih diperparah dengan gerombolan imitasi girlsband/boysband Korea yang begitu percaya diri tampil melakukan gerakan-gerakan konyol diatas panggung sambil lipsynch. Besok atau lusa, entah fenomena menyedihkan seperti apa lagi yang akan semakin memperburuk citra musik Indonesia.
Saya merasa beruntung tumbuh pada era 80-90'an dimana saya menjadi salah satu saksi betapa dulu musik Indonesia begitu variatif dengan eksistensi band-band atau penyanyi-penyanyi solo yang memang benar-benar punya kwalitas dan tentu saja popular. Di masa remaja saya dulu, saya yakin ada sejumlah band yang muncul dan popular secara bersamaan, misalnya Dewa 19, Kla Project, Java Jive, Slank, Grass Rock, Protonema, Adegan, Boomerang, Edane, dll. Meski sering muncul secara bersamaan, tetapi masing-masing band ini tidak saling tiru seperti yang terjadi pada band-band zaman sekarang. Masing2 band justru membawakan jenis musik yang berbeda dengan karakter masing-masing. Misalnya Slank yang terkenal dengan lirik lagunya yang ceplas-ceplos, atau Dewa 19 yang sangat Sweet Rock, Java Jive yang pop progresif, Krakatau yang Pop Jazz, Protonema yang kalem, Gigi, Boomerang yang cadas, Adegan mengusung warna Rock dengan sentuhan Jazz. Dijajaran penyanyi solo juga tak kalah variatif, ada Andy Liany, Anang (dulu Anang ini sangat keren dengan rambut panjang dan band Kidnap-nya, tetapi sekarang justru sangat memprihatinkan), Hengky Supit, dll. Sementara dari barisan perempuan, jangan harap akan menemukan penyanyi dengan tatanan rambut aneh dan bulu mata mencuat. Kubu penyanyi perempuan memang terbilang ramai, ada Ita Purnamasari, Atiek CB yang berpenampilan sensual dan kacamata hitam, Nicky Astria, Anggun C. Sasmi dengan ciri khas baret dan suara melengking, Mel Shandy, Conny Dio, Inka Christy yang mengusung musik Rock Melayu, dll. Ita Purnamasari dan Mel Shandy bisa dibilang berani beda, Ita kerap tampil diatas panggung sambil bermain piano, satu bakat dan aksi panggung yang jarang ditampilkan oleh penyanyi perempuan Indonesia lainnya. Sementara Mel Shandy berani mengusung musik Metal pada beberapa penampilan dan lagu-lagunya. Lalu ada juga Ruth Sahanaya danb Vina Panduwinata yang meskipun sama-sama mengusung warna musik yang hampir sama, tetapi karena masing-masing memiliki karakter vocal dan penampilan yang kuat keduanya justri tidak pernah terlihat seragam, satu hal yang sekarang sulit ditemukan dijajaran penyanyi perempuan zaman sekarang. Format kelompok vocal juga tak kalah menarik, ada Trio Libels (yang merupakan tiga sahabat sejak bangku SMA), Coboy (lima model pria yang mencoba peruntungan didunia tarik suara) serta kelompok vocal perempuan paling sukses dan fenomenal : AB Three yg masing-masing personilnya adalah jebolan festival nyanyi tingkat Asia. Ada geliat juga dari industry musik anak-anak, sebut saja nama-nama seperti Sherina, Joshua, Enno Lerian dan Tasya yang menyanyikan lagu sesuai dengan umur dan anak-anak seusianya. Musik Indonesia tidak melulu didominasi musik Pop atau Rock karena jalur musik Rap pernah meraja. Ada Iwa K dan Denada yang sempat begitu mengharu-biru panggung musik dengan warna musik yang masing tergolong asing di industry musik Indonesia. Dijalur musik dance, ada Imaniar yang menjadi solois yang kerap tampil dengan barisan penari latar yang energik. Dengan karakter mereka yang begitu kuat, bahkan tak ada wajah-wajah baru yang berani menjadi versi imitasi mereka seperti yang terjadi pada penyanyi-penyanyi/band-band zaman sekarang yang saling jiplak jenis musik dan penampilan.
Jika di Amerika atau Eropa ada MTV atau VH1 yang menganggap bahwa era 80-90'an sebagai era dimana industry musik berada pada masa keemasannya sehingga memiliki program khusus yang menayangkan video-video music tahun 80-90'an dalam program bernama The Sound of 80-90's hingga industri msuiknya tetap memiliki medium flashback dari masa lalu yang mencatat dokumentasi musik-musik berkwalitas lewat video musik untuk dijadikan inspirasi. Bagaimana dengan di Indonesia?. Menayangkan kembali video-video music tahun 80-90an dilayar kaca mungkin bisa menjadi semacam refresh memory betapa dulu musik Indonesia pernah begitu berkwalitas. Bisa juga menjadi pembelajaran kepada industri musik sekarang bahwa musik/lagu dan artis/band yang berkwalitas tak akan mungkin tergerus oleh yang baru. Sehingga akan lebih baik (misalnya) jika industri musik kita berkiblat kepada kesuksesan industry musik tahun 80-90an daripada terinspirasi oleh musik/artis Korea yang sejak zaman dulu tidak pernah terdengar punya kwalitas yang mampu menggebrak dunia. Mungkin Kompas TV bisa diharapkan untuk mengemban misi sederhana ini lewat sebuah program musik yang khusus menayangkan video-video musik tahun 80-90′an yang berkwalitas dimana lagu-lagunya masih saja enak didengar saat berkumandang pada zaman sekarang?
http://hiburan.kompasiana.com/musik/2011/10/10/era-80-90-puncak-kejayaan-musik-indonesia-402468.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar