Rabu, 15 Januari 2014

Situs Baginda Ery: Opini: Maulid Nabi dan Orang Saleh

Situs Baginda Ery
Blog yang menyediakan berbagai macam artikel yang berkualitas dan layak dibaca oleh semua kalangan,mulai dari artikel tentang kesuskesan seseorang,kisah motivasi,kisah islami,sampai dengan kisah misteri Blog yang menyediakan Kisah Misteri, Kisah Nyata, Kisah Legenda, Kisah Islami, Kisah Orang-Orang Sukses, Kisah Motivasi, Kisah Inspiratif, dan Banyak Artikel Menarik lainnya. 
Introduction to Coaching & CEC's

In less than an hour, you'll learn how to win the hearts of your members and build a successful fitness community. Sign up for this $49 online course.
From our sponsors
Opini: Maulid Nabi dan Orang Saleh
Jan 15th 2014, 11:10, by Baginda Ery

Oleh : Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


Setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, ada satu tradisi yang mengingatkan saya bagaimana ke­cin­taan umat Islam kepada Nabi-nya, yakni pembacaan doa khusus untuk Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, seorang ulama terkenal dari Baghdad. Memanjatkan doa bersama—praktik umum di ka­la­ngan anggota Nahdlatul Ulama dan Tarbiyah Islamiyah—merupakan bentuk penghargaan kepada sang ulama karena dianggap memiliki tingkat kesalehan yang tinggi. Umumnya jamaah m­e­la­kukan ini setelah mereka memanjatkan doa untuk Nabi Muhammad.
http://www.mizan.com/datafitur/news_img/1/201202/1089543_81675762(2).jpg
Di beberapa tempat, umat Islam menghormati kitab Manakib yang me­ngi­sahkan perjalanan spiritual Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dan kitab Barzanji yang berisi sejarah Nabi Muhammad. Sementara uamt Islam tidak menyetujui cara penghormatan yang berlebihan, apalagi menempatkan Al-Quran dan Nabi Muhammad di posisi kedua. Pada kelompok lain, seperti kelompok tarekat, berdoa bagi pemimpin mereka atau mursyid (guru) menjadi suatu keharusan karena sang mursyid diyakini sebagai mediator untuk setiap doa yang disam­paikan. Di antara kelompok Syiah, Ali bin Abi Thalib dan keturunannya memiliki posisi khusus.

Pada prinsipnya menghormati se­se­orang dianggap "suci" tidak ber­ten­ta­ngan dengan ajaran Islam. Al Quran mengajarkan umat Islam untuk meng­hor­mati nabi-nabi sebelumnya, ulama dan umara. Praktik-praktik menghormati ulama memang umum di Indonesia, seperti terlihat dari kenyataan bahwa makam Wali Songo selalu penuh sesak dengan jamaah. Semua memiliki tujuan yang sama, yaitu adanya harapan buat me­ngikuti cara yang tepat menuju Tu­han, yang mereka sembah, seperti yang dilakukan ulama mereka.

Demikian pula, kelompok Ah­ma­di­yah, dengan cara mereka sendiri me­naruh rasa hormat kepada pemimpin mereka, Mirza Ghulam Ahmad, dan bukunya, Tadzkirah. Sayangnya, ke­lom­pok Ahmadiyah menyebut Mirza sebagai nabi. Ini menunjukkan bahwa mereka percaya bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad. Praktik ini membagi Ah­ma­diyah menjadi dua kelompok, yakni Ah­madiyah Qadian—yang percaya bah­wa Mirza adalah nabi—dan Ahmadiyah Lahore—seperti kelompok-kelompok non-Ahmadiyah lainnya, yang mengakui Mirza hanya sebagai pembaharu Islam dan percaya bahwa Nabi Muhammad adalah khataman nabiyin (nabi pe­nutup). Perbedaan penafsiran ini telah menjadi kian tajam dan ditemukan tidak hanya di Indonesia. Beberapa kelompok non-Ahmadiyah menyimpulkan bahwa Ahmadiyah telah meninggalkan Islam.

Tentu saja pendapat ini ditolak oleh Ahmadiyah karena mereka melakukan ibadah yang sama seperti yang diajarkan Nabi Muhammad. Memang tidak semua kelompok non-Ahmadiyah dapat me­ma­hami dan menunjukkan toleransi terhadap ajaran Ahmadiyah. Ini beranjak dari perbedaan konsep tentang keto­kohan Mirza. Mereka yang tidak distingsi dalam tubuh Ahmadiyah menganggap Ahmadiyah telah mengganggu iman mereka. Sementara mereka yang me­ma­hami perbedaan tipologi ajaran Ah­ma­diyah tersebut menganggap ini hanya perbedaan dalam penafsiran yang harus dihormati.

Namun, pecahnya kekerasan di ka­la­ngan umat Islam mencerminkan hi­lang­nya semangat ukhuwah Islamiyah di Indonesia tatkala sebagian Muslim gagal untuk memprioritaskan dialog yang seharusnya dilakukan dengan sabar, saling menghormati dan penuh per­tim­bangan rasionalitas. Keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Aga­ma, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri tentang yang melarang pe­nye­ba­ran ajaran Ahmadiyah sebagai ajaran yang menyimpang dari prinsip-prinsip Islam—yagi mengakui adanya Nabi setelah Nabi Muhammad—dapat ditaf­sir­kan sebagai kegagalan umat Islam untuk memecahkan masalah sendiri secara internal. Oleh karena itu, dalam konteks menghormati semua pihak, keluarnya Surat keputusan bersama ini harus dianggap sebagai jalan tengah yang diambil pemerintah untuk menjaga persatuan bangsa dan membawa ke titik pertemuan perbedaan di antara sesama warga.

Sebagai produk hukum, SKB ini me­mi­liki kekurangan melihat seperti fakta bahwa isinya tidak memiliki ketegasan dan berseberangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pribadi dan hak asasi manusia. Ada kekhawatiran bahwa la­ra­ngan ini akan menjadi preseden buruk ketika kelompok mayoritas tidak bisa lagi menghormati kelompok minoritas ka­re­na perbedaan penafsiran agama. Banyak orang bahkan menduga bahwa pe­ner­bi­tan SKB  ini disebabkan adanya tekanan besar terhadap pemerintah, terutama dari kelompok-kelompok Muslim kon­ser­vatif dan radikal yang tidak me­ma­ha­mi konsep pluralisme.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan, bagaimanapun, masalah Ahmadiyah adalah isu sensitif karena melibatkan aspek agama, sosial dan politik. Masalah serius yang harus diperbaiki antara Ahmadiyah adalah bahwa mereka harus bercampur dengan non-Ahmadiyah dalam aktivitas keagamaan mereka. Sampai sekarang mereka lebih suka untuk menjalankan ibadah hanya di masjid-masjid milik kelompok mereka sendiri. Untuk kelompok yang me­nen­tang Ahmadiyah, termasuk FPI , se­ka­rang saatnya bagi mereka untuk belajar untuk menghormati Ahmadiyah. Ti­dak­lah bijaksana untuk mempertimbangkan penerbitan SKB sebagai bentuk ke­me­nangan. Di sisi lain, FPI harus mengubah dirinya menjadi sebuah organisasi damai jika tidak ingin dicap sebagai kelompok preman dengan jubah putih panjang. Kekerasan yang dilakukan oleh FPI tidak mencerminkan sikap orang-orang yang memiliki keyakinan pada Tuhan.

Dalam hal solidaritas dan per­sau­daraan, Nabi selalu menunjukkan ke­sa­baran dan toleransi meskipun ia diejek dan dianiaya. Ia tidak pernah membalas atas penghinaan, bahkan mendoakan musuh-musuhnya. Sifat memaafkan beliau telah melahirkan kekaguman dari kawan dan lawan. Belajar dari hal ini, umat Islam harus menghindari reaksi kekerasan sebagai wujud kemarahan terhadap orang-orang mendiskreditkan Islam dan Nabi.

Ini mungkin me­muas­kan dahaga balas dendam untuk se­men­tara waktu, tapi akhirnya ia akan menjadi bumerang bagi umat Islam secara ke­se­lu­r­uhan. Paling penting dari semua, umat Islam harus benar-benar menyalin mo­del peran Rasul dalam kehidupan se­hari-hari. Hal ini dapat meluruskan orang-orang yang menghina Nabi lantaran ku­rangnya pengetahuan mereka tentang Islam dan Muhammad.
http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=4368

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions

Tidak ada komentar :

Posting Komentar