Oleh : Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, ada satu tradisi yang mengingatkan saya bagaimana kecintaan umat Islam kepada Nabi-nya, yakni pembacaan doa khusus untuk Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, seorang ulama terkenal dari Baghdad. Memanjatkan doa bersama—praktik umum di kalangan anggota Nahdlatul Ulama dan Tarbiyah Islamiyah—merupakan bentuk penghargaan kepada sang ulama karena dianggap memiliki tingkat kesalehan yang tinggi. Umumnya jamaah melakukan ini setelah mereka memanjatkan doa untuk Nabi Muhammad.
Di beberapa tempat, umat Islam menghormati kitab Manakib yang mengisahkan perjalanan spiritual Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dan kitab Barzanji yang berisi sejarah Nabi Muhammad. Sementara uamt Islam tidak menyetujui cara penghormatan yang berlebihan, apalagi menempatkan Al-Quran dan Nabi Muhammad di posisi kedua. Pada kelompok lain, seperti kelompok tarekat, berdoa bagi pemimpin mereka atau mursyid (guru) menjadi suatu keharusan karena sang mursyid diyakini sebagai mediator untuk setiap doa yang disampaikan. Di antara kelompok Syiah, Ali bin Abi Thalib dan keturunannya memiliki posisi khusus.
Pada prinsipnya menghormati seseorang dianggap "suci" tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Al Quran mengajarkan umat Islam untuk menghormati nabi-nabi sebelumnya, ulama dan umara. Praktik-praktik menghormati ulama memang umum di Indonesia, seperti terlihat dari kenyataan bahwa makam Wali Songo selalu penuh sesak dengan jamaah. Semua memiliki tujuan yang sama, yaitu adanya harapan buat mengikuti cara yang tepat menuju Tuhan, yang mereka sembah, seperti yang dilakukan ulama mereka.
Demikian pula, kelompok Ahmadiyah, dengan cara mereka sendiri menaruh rasa hormat kepada pemimpin mereka, Mirza Ghulam Ahmad, dan bukunya, Tadzkirah. Sayangnya, kelompok Ahmadiyah menyebut Mirza sebagai nabi. Ini menunjukkan bahwa mereka percaya bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad. Praktik ini membagi Ahmadiyah menjadi dua kelompok, yakni Ahmadiyah Qadian—yang percaya bahwa Mirza adalah nabi—dan Ahmadiyah Lahore—seperti kelompok-kelompok non-Ahmadiyah lainnya, yang mengakui Mirza hanya sebagai pembaharu Islam dan percaya bahwa Nabi Muhammad adalah khataman nabiyin (nabi penutup). Perbedaan penafsiran ini telah menjadi kian tajam dan ditemukan tidak hanya di Indonesia. Beberapa kelompok non-Ahmadiyah menyimpulkan bahwa Ahmadiyah telah meninggalkan Islam.
Tentu saja pendapat ini ditolak oleh Ahmadiyah karena mereka melakukan ibadah yang sama seperti yang diajarkan Nabi Muhammad. Memang tidak semua kelompok non-Ahmadiyah dapat memahami dan menunjukkan toleransi terhadap ajaran Ahmadiyah. Ini beranjak dari perbedaan konsep tentang ketokohan Mirza. Mereka yang tidak distingsi dalam tubuh Ahmadiyah menganggap Ahmadiyah telah mengganggu iman mereka. Sementara mereka yang memahami perbedaan tipologi ajaran Ahmadiyah tersebut menganggap ini hanya perbedaan dalam penafsiran yang harus dihormati.
Namun, pecahnya kekerasan di kalangan umat Islam mencerminkan hilangnya semangat ukhuwah Islamiyah di Indonesia tatkala sebagian Muslim gagal untuk memprioritaskan dialog yang seharusnya dilakukan dengan sabar, saling menghormati dan penuh pertimbangan rasionalitas. Keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri tentang yang melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah sebagai ajaran yang menyimpang dari prinsip-prinsip Islam—yagi mengakui adanya Nabi setelah Nabi Muhammad—dapat ditafsirkan sebagai kegagalan umat Islam untuk memecahkan masalah sendiri secara internal. Oleh karena itu, dalam konteks menghormati semua pihak, keluarnya Surat keputusan bersama ini harus dianggap sebagai jalan tengah yang diambil pemerintah untuk menjaga persatuan bangsa dan membawa ke titik pertemuan perbedaan di antara sesama warga.
Sebagai produk hukum, SKB ini memiliki kekurangan melihat seperti fakta bahwa isinya tidak memiliki ketegasan dan berseberangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pribadi dan hak asasi manusia. Ada kekhawatiran bahwa larangan ini akan menjadi preseden buruk ketika kelompok mayoritas tidak bisa lagi menghormati kelompok minoritas karena perbedaan penafsiran agama. Banyak orang bahkan menduga bahwa penerbitan SKB ini disebabkan adanya tekanan besar terhadap pemerintah, terutama dari kelompok-kelompok Muslim konservatif dan radikal yang tidak memahami konsep pluralisme.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan, bagaimanapun, masalah Ahmadiyah adalah isu sensitif karena melibatkan aspek agama, sosial dan politik. Masalah serius yang harus diperbaiki antara Ahmadiyah adalah bahwa mereka harus bercampur dengan non-Ahmadiyah dalam aktivitas keagamaan mereka. Sampai sekarang mereka lebih suka untuk menjalankan ibadah hanya di masjid-masjid milik kelompok mereka sendiri. Untuk kelompok yang menentang Ahmadiyah, termasuk FPI , sekarang saatnya bagi mereka untuk belajar untuk menghormati Ahmadiyah. Tidaklah bijaksana untuk mempertimbangkan penerbitan SKB sebagai bentuk kemenangan. Di sisi lain, FPI harus mengubah dirinya menjadi sebuah organisasi damai jika tidak ingin dicap sebagai kelompok preman dengan jubah putih panjang. Kekerasan yang dilakukan oleh FPI tidak mencerminkan sikap orang-orang yang memiliki keyakinan pada Tuhan.
Dalam hal solidaritas dan persaudaraan, Nabi selalu menunjukkan kesabaran dan toleransi meskipun ia diejek dan dianiaya. Ia tidak pernah membalas atas penghinaan, bahkan mendoakan musuh-musuhnya. Sifat memaafkan beliau telah melahirkan kekaguman dari kawan dan lawan. Belajar dari hal ini, umat Islam harus menghindari reaksi kekerasan sebagai wujud kemarahan terhadap orang-orang mendiskreditkan Islam dan Nabi.
Ini mungkin memuaskan dahaga balas dendam untuk sementara waktu, tapi akhirnya ia akan menjadi bumerang bagi umat Islam secara keseluruhan. Paling penting dari semua, umat Islam harus benar-benar menyalin model peran Rasul dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat meluruskan orang-orang yang menghina Nabi lantaran kurangnya pengetahuan mereka tentang Islam dan Muhammad.
http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=4368
Tidak ada komentar :
Posting Komentar