"Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah," demikianlah penggal lirik lagu yang dilantunkan Achmad Albar. Dalam kalimat pertama dari sebuah monolog berjudul "As You Like It", William Shakespeare juga mengatakan, "All the world's a stage". Ini sebuah ekspresi jujur yang menegaskan eksistensi manusia di dunia. Sebagai sebuah panggung sandiwara, setiap orang memainkan perannya masing-masing.
Apakah potret "hidup ini panggung sandiwara" atau "seluruh dunia ini sebenarnya sebuah panggung" dapat menggambarkan berbagai ketimpangan dan tindakan tidak bermoral yang akhir-akhir ini semakin melanda negeri ini? Kita urut mulai dari pejabat tinggi negara sampai rakyat jelata, semua sedang memainkan perannya masing-masing. Ada pejabat tinggi yang ditangkap KPK, dan drama penangkapan itu menguak kisah-kisah lain yang lebih dramatis. Ada "politik kongkalikong" mengerikan yang terjadi di balik terali kekuasaan yang ternyata dilakukan hanya untuk memperkaya diri sendiri. Ada kisah aneh tentang sopir pejabat negara yang dipinjami rekeningnya atau dipinjami KTP-nya untuk membeli mobil mewah. Dan itu dianggap sebagai kelaziman. Ada pejabat negara yang mengkonsumsi narkoba, menenggak obat kuat supaya bisa "bercuki" dengan banyak perempuan yang dia maui. Ada pejabat negara yang "mengaku" dekat dengan istana sebagai cara mengelabui mangsa. Dan seterusnya.
Dan di balik semuanya itu, kita pun bertanya: adakah orang di republik ini yang sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat? Yang hanya hidup dari penghasilan bulanannya dan mengandalkan belanja harian dan biaya hidup hanya dari penghasilan bulanan itu? Atau, jangan-jangan pertanyaan ini terasa aneh dan salah dikemukakan di tengah situasi di mana kita sendiri tidak bisa lagi membedakan mana yang baik dan manakah yang buruk?
Sandiwara itu sampai juga ke rakyat jelata. Di berbagai pelosok negeri ini orang berantam, baku pukul, perang tanding desa melawan desa hanya karena persoalan sepeleh. Atau, orang merasa seakan-akan bangga jika melakukan kekerasan melawan orang lain. Sementara kita di kota besar juga mulai takut dan terteror oleh aksi-aksi kejahatan mengerikan seperti penembakan gelap dan penyiraman air keras.
Jadi, benarkah dunia ini memang panggung sandiwara? Sekadar mereduksikan persoalan, dunia bisa dipahami sebagai panggung sandiwara. Seperti halnya sandiwara benaran dengan berbagai tokoh dan lakon yang protagonis dan antagonis, juga ada klimaks dan antiklimaks, panggung sandiwara kehidupan kita pun tampaknya seperti itu. Ada orang yang sedang pada tahap antiklimaks dalam hidupnya. Pak Mahfud MD mengatakan bahwa persoalan yang sedang dihadapi Akil Mochtar itu sebenarnya Akil Mochtar hanya apes saja. Dengan kata lain, jika dia memainkan peran (baca: pembohongan) secara cerdik, maka dia tidak akan pernah mencapai tahap antiklimaks. Sementara kita tidak tahu berapa banyak pejabat publik kita yang sedang menikmati tahap klimaks. Mereka bisa jadi sedang belajar bagaimana menyembunyikan kejahatan dan praktik korupsi supaya tidak diketahui. Dan jika pada akhirnya tidak diketahui, mereka tidak akan menjadi orang yang "apes" seperti dikatakan Pak Mahfud itu.
Aneh ya, panggung sandiwara yang bernama Indonesia ini sedang diisi oleh sandiwara-sandiwara manipulasi, pembohongan, dan berbagai kejahatan. Dan kita tidak pernah tahu kapan sandiwara dan seluruh lakon kejahatan ini akan bisa ditumpas persis ketika para penumpas kejahatan adalah bagian dari sandiwara kejahatan itu sendiri.
Saya membayangkan barangkali di masa depan, ketika sandiwara kejahatan ini sudah merasuki seluruh kedirian dan cara berpikir kita, dan ketika kita semakin tidak membedakan lagi mana yang jahat dan mana yang baik, mana yang lazim dan mana yang batil, pada waktu itu pula kita berubah menjadi "manusia baru". Manusia baru yang dimaksud adalah jenis manusia Indonesia yang tidak lagi mempersoalkan kejahatan karena kejahatan telah bermetamorfosa menjadi sebuah kelaziman.
Jika kita tidak hati-hati, kita sebenarnya sedang menuju ke proses itu. Satu-satunya cara memutus mata rantai dan terus mengasa kesadaran moral kita adalah dengan menghukum seberat-beratnya para pelaku kejahatan. Wujudnya bisa hukuman mati, meskipun agama saya sendiri melarang hukuman mati. Tanpa itu, kita hanya akan bermain-main dengan pedang keadilan.
http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/11/hidup-ini-panggung-sandiwara-600468.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar