REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbib Abdul Wahab
"Dan  tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan  cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia  ada permusuhan seolah-olah  telah menjadi teman yang sangat setia." (QS Fushshilat [41]: 34)
Pada suatu malam khalifah Umar bin Abdul Aziz melakukan ronda di kawasan Damaskus. Ia ditemani seorang polisi.  Keduanya masuk sebuah masjid yang kebetulan lampunya padam. Kondisi  masjid itu gelap gulita. 
Tak disangka sang khalifah mendapati  seseorang sedang tidur di dalamnya. Orang yang tidur itu terbangun dan  berkata kepada Umar: "Apakah engkau itu gila?" "Tidak, saya tidak gila,"  jawab khalifah. 
Polisi  yang mengawal sang khalifah sempat  tersinggung atas upacan tidak sopan itu. Ia bermaksud memukulnya, tapi  dicegah oleh khalifah. "Jangan kau pukul dia. Dia cuma bertanya: "Apakah  kamu gila? dan sudah saya jawab: tidak". 
Sebagai Amirul  Mukminin, saya sama sekali tidak merasa dihina atau dilecehkan. "Engkau  jangan mudah marah, mungkin dia bertanya begitu karena belum sepenuhnya  sadar. Dan boleh jadi kedatangan kita mengganggu tidurnya," nasehat Umar  kepada polisi.
Kisah unik tersebut memberi pesan moral kepada  kita bahwa berhati dan bersikap santun, tidak mudah emosi, dan mampu  membawakan diri dalam berbagai situasi merupakan kunci kedamaian sosial.
 Sebab emosi yang tidak terkendali hanya akan membawa kericuhan, pertengkaran, ketidak-harmonisan dalam bermasyarakat.
Kesantunan (al-hilm)  dalam bersikap dan berperilaku dapat mengantarkan kita kepada  persahabatan yang sejati. Hati yang santun tidak hanya dapat meredam  permusuhan, dan mengalahkan nafsu amarah yang diprovokasi oleh setan,  juga dapat mencerdaskan emosi dan tidak mudah menyakiti hati orang lain  sehingga membuatnya mudah bergaul, beradaptasi, dan bermasyarakat secara  empati dan baik hati.
Muslim yang berhati santun pasti tidak  mudah marah dan meluapkan emosi tanpa pengendalian diri. Nabi Muhammad  SAW adalah figur berhati santun yang patut diteladani.  
Beliau  pernah dilempari kotoran setiap kali melewati rumah seorang Yahudi,  tetapi beliau tidak balas dendam dan sakit hati. Pada kali yang keempat  lewat di depan rumahnya, beliau justeru merasa heran, kenapa orang yang  biasa melemparinya dengan kotoran busuk itu tidak mengulangi lagi  perbuatannya. 
Setelah diselidiki, ternyata orang Yahudi itu  sakit. Beliau malah merespon positif dengan mendatangi rumahnya untuk  menjenguk dan mendoakan kesembuhan baginya.
				
			  Kaligrafi Nama Nabi Muhammad (ilustrasi)				Melihat perlakuan  Nabi SAW yang luar biasa santun dan murah hati seperti itu, si Yahudi  itu malu hati dan sempat menduga kedatangannya untuk membalas dendam.
 Sesampai di rumahnya, beliau ternyata memberi senyum ramah kepadanya  sembari menanyakan sakitnya sekaligus mendoakannya agar segera sembuh  dan pulih seperti sedia kala.
Ia kemudian meminta maaf kepada  beliau. "Sungguh engkau adalah orang yang sangat berhati mulia, santun,  dan pemaaf. Engkau tidak menaruh dendam sedikit pun kapadaku, padahal  aku telah menyakiti hatimu. Agama yang membuatmu berhati santun dan  pemaaf itu pastilah agama yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia,"  tutur Yahudi itu kepada beliau. Akhirnya, orang Yahudi itu pun masuk  Islam.
Sungguh indah hati yang santun itu, karena hanya akan melahirkan kata-kata, sikap, dan perbuatan yang santun pula.
 Begitulah dahulu Nabi SAW berdakwah dengan kesantunan hati, sehingga   orang Yahudi yang sangat keras permusuhannya terhadap orang-orang   beriman (QS Al-Maidah [5]: 82) itu pun mengakui kemuliaan dan keluhuran  moralitas Islam yang diteladankan Nabi SAW. 
Dari hati yang  santun seperti itulah, Islam sebagai rahmat bagi semesta raya dapat  diwujudkan dalam kehidupan kita yang semakin hari semakin gersang dari  kesantunan hati. Semoga! Wallahu a'lam bish Shawab.  			
                                                                        
Tidak ada komentar :
Posting Komentar